Bahaya Hadits Dla’if Dan Mawdlu’ (Palsu)

Mukadimah

Di antara bencana besar yang menimpa kaum Muslimin sejak periode-periode pertama adalah tersebar luasnya hadits-hadits Dla’if (lemah) dan Mawdlu’ (palsu) di tengah mereka. Tidak ada seorang pun yang dikecualikan di sini sekalipun mereka adalah kalangan para ulama mereka kecuali beberapa gelintir orang yang dikehendaki Allah, di antaranya para imam hadits dan Nuqqaad (Para Kritikus hadits) seperti Imam al-Bukhary, Ahmad, Ibn Ma’in, Abu Hatim ar-Razy dan ulama lainnya.

Penyebaran yang secara meluas tersebut mengakibatkan banyak dampak negatif, di antaranya ada yang terkait dengan masalah-masalah aqidah yang bersifat ghaib dan di antaranya pula ada yang berupa perkara-perkara Tasyri’ (Syari’at).

Adalah hikmah Allah Ta’ala Yang Maha Mengetahui, bahwa Dia tidak membiarkan hadits-hadits yang dibuat-buat oleh orang-orang yang benci terhadap agama ini untuk tujuan-tujuan tertentu menjalar ke tubuh kaum Muslimin tanpa mengutus orang yang akan menyingkap kedok yang menutupi hakikatnya dan menjelaskan kepada manusia permasalahannya. Mereka itulah para ulama Ahli hadits dan pembawa panji-panji sunnah Nabawiyyah yang didoakan Rasullah dalam sabdanya, “Semoga Allah mencerahkan (menganugerahi nikmat) seseorang yang mendengarkan perkataanku lalu menangkap (mencernanya), menghafal dan menyampaikannya. Betapa banyak orang yang membawa ilmu tetapi tidak lebih faqih (untuk dapat menghafal dan menyampaikannya) dari orang yang dia sampaikan kepadanya/pendengarya (karena ia mampu menggali dalil sehingga lebih faqih darinya).” (HR.Abu Daud dan at-Turmudzy yang menilainya shahih).

Para imam tersebut –semoga Allah mengganjar kebaikan kepada mereka dari kaum Muslimin- telah menjelaskan kondisi kebanyakan hadits-hadits tersebut dari sisi keshahihan, kelemahan atau pun kepalsuannya dan telah membuat dasar-dasar yang kokoh dan kaidah-kaidah yang mantap di mana siapa saja yang menekuni dan mempelajarinya secara mendalam untuk mengetahuinya, maka dia akan dapat mengetahui kualitas dari hadits apa pun meski mereka (para imam tersebut) belum memberikan penilaian atasnya secara tertulis. Itulah yang disebut dengan ilmu Ushul Hadits atau yang lebih dikenal dengan Llmu Mushthalah Hadits.

Para ulama generasi terakhir (al-Muta`akkhirin) telah mengarang beberapa buku yang khusus untuk mencari hadits-hadits dan menjelaskan kondisinya, di antaranya yang paling masyhur dan luas bahasannya adalah kitab al-Maqaashid al-Hasanah Fii Bayaan Katsiir Min al-Ahaadiits al-Musytahirah ‘Ala al-Alsinah karya al-Hafizh as-Sakhawy. Demikian juga buku semisalnya seperti buku-buku Takhriijaat (untuk mengeluarkan jaluar hadits dan kualitasnya) yang menjelaskan kondisi hadits-hadits yang terdapat di dalam buku-buku pengarang yang buku berasal dari Ahli Hadits (Ulama hadits) dan buku-buku yang berisi hadits-hadits yang tidak ada asalnya seperti buku Nashb ar-Raayah Li Ahaadiits al-Bidaayah karya al-Hafizh az-Zaila’iy, al-Mugny ‘An Haml al-Asfaar Fii al-Asfaar Fii Takhriij Maa Fii Ihyaa` Min al-Akhbaar karya al-Hafizh al-‘Iraqy, at-Talkhiish al-Habiir Fii Takhriij Ahaadiits ar-Raafi’iy al-Kabiir karya al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalany, Takhriij Ahaadiits al-Kasysyaaf karya Ibn Hajar juga dan Takhriij Ahaadiits asy-Syifaa` karya Imam as-Suyuthy, semua buku tersebut sudah dicetak dan diterbitkan.

Sekalipun para imam tersebut –semoga Allah mengganjar kebaikan kepada mereka- telah melanggengkan jalan kepada generasi setelah mereka, baik buat kalangan para ulama maupun para penuntut ilmu hingga mereka mengetahui kualitas setiap hadits melalui buku-buku tersebut dan semisalnya, akan tetapi –sangat disayangkan sekali- kami melihat mereka malah telah berpaling dari membaca buku-buku tersebut. Maka karenanya, mereka pun buta terhadap kondisi hadits-hadits yang telah mereka hafal dari para guru mereka atau yang mereka baca pada sebagian buku yang tidak interes terhadap hadits yang shahih dan valid. Karena itu pula, kita hampir tidak pernah mendengarkan suatu wejangan dari sebagian Mursyid (penyuluh), ceramah dari salah seorang ustadz atau khuthbah seorang khathib melainkan kita dapati di dalamnya sesuatu dari hadits-hadits Dla’if dan Mawdlu’ tersebut, dan ini amat berbahaya di mana karenanya dikhawatirkan mereka semua akan terkena ancaman sabda beliau SAW., yang berbunyi, “Barangsiapa yang telah berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.” (Hadits Shahih Mutawatir)

Walau pun secara langsung mereka tidak menyengaja berdusta, namun sebagai imbasnya mereka tetap berdosa karena telah menukil (meriwayatkan) hadits-hadits yang semuanya mereka periksa padahal mengetahi secara pasti bahwa di dalamnya terdapat hadits yang Dla’if atau pun hadits dusta. Mengenai hal ini, terdapat isyarat dari makna hadits Rasulullah yang berbunyi, “Cukuplah seseorang itu berdusta manakala ia menceritakan semua apa yang didengarnya (tanpa disaring lagi-red.,).” (HR.Muslim) dan hadits lainnya dari riwayat Abu Hurairah.

Kemudian dari itu, telah diriwayatkan bahwa Imam Malik pernah berkata, “Ketahuilah bahwa tidaklah selamat seorang yang menceritakan semua apa yang didengarnya dan selamanya, ia bukan imam bilamana menceritakan semua apa yang didengarnya.”

Imam Ibn Hibban berkata di dalam kitab Shahihnya, “Pasal: Mengenai dipastikannya masuk neraka, orang yang menisbatkan sesuatu kepada al-Mushthafa, Rasulullah SAW., padahal ia tidak mengetahui keshahihannya,” setelah itu, beliau mengetengahkan hadits Abu Hurairah dengan sanadnya secara marfu’, “Barangsiapa yang berkata dengan mengatasnamakanku padahal aku tidak pernah mengatakannya, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” Kualitas sanad hadits ini Hasan dan makna asalnya terdapat di dalam kitab ash-Shahiihain dan kitab lainnya.

Selanjutnya, Ibn Hibban berkata, “Pembahasan mengenai hadits yang menunjukkan keshahihan hadits-hadits yang kami isyaratkan pada bab terdahulu,” kemudian beliau mengetengahkan hadits dari Samurah bin Jundub dengan sanadnya, dia berkata, Rasulullah SAW., bersabda, “Barangsiapa yang membicarakan suatu pembicaraan mengenaiku (membacakan satu hadits mengenaiku) di mana ia terlihat berdusta, maka ia adalah salah seorang dari para pendusta.” (Kualitas hadits ini Shahih, dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam mukaddimahnya dari hadits Samurah dan al-Mughirah bin Syu’bah secara bersama-sama). Ibn Hibban berkata, “Ini adalah hadits yang masyhur.” Kemudian dia melanjutkan, “Pembahasan mengenai hadits kedua yang menunjukkan keshahihan pendapat kami,” lalu dia mengetengahkan hadits Abu Hurairah yang pertama di atas.

Dari apa yang telah kami sampaikan di atas, jelaslah bagi kita bahwa tidak boleh menyebarkan hadits-hadits dan meriwayatkannya tanpa terlebih dahulu melakukan Tatsabbut (cek-ricek) mengenai keshahihannya sebab orang yang melakukan hal itu, maka cukuplah itu sebagai kedustaan terhadap Rasulullah yang bersabda, “Sesungguhnya berdusta terhadapku bukanlah berdusta terhadap salah seorang diantara kamu; barangsiapa yang berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.” (HR.Muslim dan selainnya), wallahu a’lam.


(SUMBER: Mukaddimah Syaikh al-Albany di dalam bukunya Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’iifah Wa al-Mawdluu’ah Wa Atsaruha as-Sayyi` Fi al-Ummah, jld.I, h.47-51 dengan sedikit perubahan dan pengurangan)

Apa Itu Hadîts Qudsiy

Mukaddimah

Pada kajian ilmu hadits kali ini, sengaja kami ketengahkan masalah Hadîts Qudsiy yang tentunya sudah sering didengar atau dibaca tentangnya namun barangkali ada sebagian kita yang belum mengetahuinya secara jelas.

Untuk itu, kami akan membahas tentangnya secara ringkas namun terperinci insya Allah, semoga bermanfa'at.

Definisi

Secara bahasa (Etimologis), kata القدسي dinisbahkan kepada kata القدس (suci). Artinya, hadits yang dinisbahkan kepada Dzat yang Maha suci, yaitu Allah Ta'ala.
Dan secara istilah (terminologis) definisinya adalah

ما نقل إلينا عن النبي صلى الله عليه وسلم مع إسناده إياه إلى ربه عز وجل

Sesuatu (hadits) yang dinukil kepada kita dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam yang disandarkan beliau kepada Rabb-nya.

Perbedaan Antara Hadîts Qudsiy Dan al-Qur`an

Terdapat perbedaan yang banyak sekali antara keduanya, diantaranya adalah:

* Bahwa lafazh dan makna al-Qur`an berasal dari Allah Ta'ala sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian, alias maknanya berasal dari Allah Ta'ala namun lafazhnya berasal dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam.

* Bahwa membaca al-Qur`an merupakan ibadah sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian.

* Syarat validitas al-Qur'an adalah at-Tawâtur (bersifat mutawatir) sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian.

Jumlah Hadîts-Hadîts Qudsiy

Dibandingkan dengan jumlah hadits-hadits Nabi, maka Hadîts Qudsiy bisa dibilang tidak banyak. Jumlahnya lebih sedikit dari 200 hadits.

Contoh

Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim di dalam kitab Shahîh-nya dari Abu Dzarr radliyallâhu 'anhu dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pada apa yang diriwayatkan beliau dari Allah Ta'ala bahwasanya Dia berfirman,

يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوْا

"Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Ku dan menjadikannya diantara kamu diharamkan, maka janganlah kamu saling menzhalimi (satu sama lain)." (HR.Muslim)

Lafazh-Lafazh Periwayatannya

Bagi orang yang meriwayatkan Hadîts Qudsiy, maka dia dapat menggunakan salah satu dari dua lafazh-lafazh periwayatannya:

1. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه عز وجل

Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pada apa yang diriwayatkannya dari Rabb-nya 'Azza Wa Jalla

2. قال الله تعالى، فيما رواه عنه رسول الله صلى الله عليه وسلم

Allah Ta'ala berfirman, pada apa yang diriwayatkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam dari-Nya

Buku Mengenai Hadîts Qudsiy

Diantara buku yang paling masyhur mengenai Hadîts Qudsiy adalah kitab
الاتحافات السنية بالأحاديث القدسية (al-Ithâfât as-Saniyyah Bi al-Ahâdîts al-Qudsiyyah) karya 'Abdur Ra`uf al-Munawiy. Di dalam buku ini terkoleksi 272 buah hadits.

(SUMBER: Buku Taysîr Musthalah al-Hadîts, karya DR.Mahmûd ath-Thahhân, h.127-128)

Apa Itu Hadits Hasan ?

Mukaddimah

Yang dimaksud dalam kajian ini adalah bagian ke-dua dari klasifikasi berita yang diterima, yaitu Hasan Li Dzâtihi (Hasan secara independen).
Barangkali sebagian kita sudah pernah membaca atau mendengar tentang istilah ini, namun belum mengetahui secara persis apa yang dimaksud dengannya, siapa yang pertama kali mempopulerkannya, buku apa saja yang banyak memuat bahasan tentangnya?
Itulah yang akan kita coba untuk mengulasnya secara ringkas tapi padat, insya Allah.

Definisi

a. Secara bahasa (etimologi)
Kata Hasan (حسن) merupakan Shifah Musyabbahah dari kata al-Husn (اْلحُسْنُ) yang bermakna al-Jamâl (الجمال): kecantikan, keindahan.

b. Secara Istilah (teriminologi)
Sedangkan secara istilah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama hadits mengingat pretensinya berada di tengah-tengah antara Shahîh dan Dla’îf. Juga, dikarenakan sebagian mereka ada yang hanya mendefinisikan salah satu dari dua bagiannya saja.

Berikut beberapa definisi para ulama hadits dan definisi terpilih:

1. Definisi al-Khaththâby : yaitu, “setiap hadits yang diketahui jalur keluarnya, dikenal para periwayatnya, ia merupakan rotasi kebanyakan hadits dan dipakai oleh kebanyakan para ulama dan mayoritas ulama fiqih.” (Ma’âlim as-Sunan:I/11)

2. Definisi at-Turmudzy : yaitu, “setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada periwayat yang tertuduh sebagai pendusta, hadits tersebut tidak Syâdzdz (janggal/bertentangan dengan riwayat yang kuat) dan diriwayatkan lebih dari satu jalur seperti itu. Ia-lah yang menurut kami dinamakan dengan Hadîts Hasan.” (Jâmi’ at-Turmudzy beserta Syarah-nya, [Tuhfah al-Ahwadzy], kitab al-‘Ilal di akhirnya: X/519)

3. Definisi Ibn Hajar: yaitu, “Khabar al-Ahâd yang diriwayatkan oleh seorang yang ‘adil, memiliki daya ingat (hafalan), sanadnya bersambung, tidak terdapat ‘illat dan tidak Syâdzdz, maka inilah yang dinamakan Shahîh Li Dzâtih (Shahih secara independen). Jika, daya ingat (hafalan)-nya kurang , maka ia disebut Hasan Li Dzâtih (Hasan secara independen).” (an-Nukhbah dan Syarahnya: 29)

Syaikh Dr.Mahmûd ath-Thahhân mengomentari, “Menurut saya, Seakan Hadits Hasan menurut Ibn Hajar adalah hadits Shahîh yang kurang pada daya ingat/hafalan periwayatnya. Alias kurang (mantap) daya ingat/hafalannya. Ini adalah definisi yang paling baik untuk Hasan. Sedangkan definisi al-Khaththâby banyak sekali kritikan terhadapnya, sementara yang didefinisikan at-Turmudzy hanyalah definisi salah satu dari dua bagian dari hadits Hasan, yaitu Hasan Li Ghairih (Hasan karena adanya riwayat lain yang mendukungnya). Sepatutnya beliau mendefinisikan Hasan Li Dzâtih sebab Hasan Li Ghairih pada dasarnya adalah hadits lemah (Dla’îf) yang meningkat kepada posisi Hasan karena tertolong oleh banyaknya jalur-jalur periwayatannya.”

Definisi Terpilih

Definisi ini berdasarkan apa yang disampaikan oleh Ibn Hajar dalam definisinya di atas, yaitu:
“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, yang kurang daya ingat (hafalannya), dari periwayat semisalnya hingga ke jalur terakhirnya (mata rantai terakhir), tidak terdapat kejanggalan (Syudzûdz) ataupun ‘Illat di dalamnya.”

Hukumnya

Di dalam berargumentasi dengannya, hukumnya sama dengan hadits Shahîh sekalipun dari sisi kekuatannya, ia berada di bawah hadits Shahih. Oleh karena itulah, semua ahli fiqih menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya. Demikian juga, mayoritas ulama hadits dan Ushul menjadikannya sebagai hujjah kecuali pendapat yang aneh dari ulama-ulama yang dikenal keras (al-Mutasyaddidûn). Sementara ulama yang dikenal lebih longgar (al-Mutasâhilûn) malah mencantumkannya ke dalam jenis hadits Shahîh seperti al-Hâkim, Ibn Hibbân dan Ibn Khuzaimah namun disertai pendapat mereka bahwa ia di bawah kualitas Shahih yang sebelumnya dijelaskan.” (Tadrîb ar-Râwy:I/160)

Contohnya

Hadits yang dikeluarkan oleh at-Turmudzy, dia berkata, “Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata, Ja’far bin Sulaiman adl-Dluba’iy menceritakan kepada kami, dari Abu ‘Imrân al-Jawny, dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ariy, dia berkata, “Aku telah mendengar ayahku saat berada di dekat musuh berkata, ‘Rasulullah SAW., bersabda, “Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah naungan pedang-pedang…” (Sunan at-Turmudzy, bab keutamaan jihad:V/300)

Hadits ini adalah Hasan karena empat orang periwayat dalam sanadnya tersebut adalah orang-orang yang dapat dipercaya (Tsiqât) kecuali Ja’far bin Sulaiman adl-Dlub’iy yang merupakan periwayat hadits Hasan –sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Hajar di dalam kitab Tahdzîb at-Tahdzîb-. Oleh karena itu, derajat/kualitasnya turun dari Shahîh ke Hasan.

Tingkatan-Tingakatannya

Sebagaimana hadits Shahih yang memiliki beberapa tingkatan yang karenanya satu hadits shahih bisa berbeda dengan yang lainnya, maka demikian pula halnya dengan hadits Hasan yang memiliki beberapa tingkatan.

Dalam hal ini, ad-Dzahaby menjadikannya dua tingkatan:
Pertama, (yang merupakan tingkatan tertinggi), yaitu: riwayat dari Bahz bin Hakîm dari ayahnya, dari kakeknya; riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya; Ibn Ishaq dari at-Tîmiy. Dan semisal itu dari hadits yang dikatakan sebagai hadits Shahih padahal di bawah tingkatan hadits Shahih.

Ke-dua, hadits lain yang diperselisihkan ke-Hasan-an dan ke-Dla’îf-annya, seperti hadits al-Hârits bin ‘Abdullah, ‘Ashim bin Dlumrah dan Hajjâj bin Artha’ah, dan semisal mereka.

Tingkatan Ucapan Ulama Hadits, “Hadits yang
shahîh sanadnya” atau “Hasan sanadnya”

1. Ucapan para ulama hadits, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Shahih.”

2. Demikian juga ucapan mereka, “Ini adalah hadits yang Hasan sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Hasan” karena bisa jadi ia Shahih atau Hasan sanadnya tanpa matan (redaksi/teks)nya akibat adanya Syudzûdz atau ‘Illat.

Seorang ahli hadits bila berkata, “Ini adalah hadits Shahih,” maka berarti dia telah memberikan jaminan kepada kita bahwa ke-lima syarat keshahihan telah terpenuhi pada hadits ini. Sedangkan bila dia mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” maka artinya dia telah memberi jaminan kepada kita akan terpenuhinya tiga syarat keshahihan, yaitu: sanad bersambung, keadilan si periwayat dan kekuatan daya ingat/hafalan (Dlabth)-nya, sedangkan ketiadaan Syudzûdz atau ‘Illat pada hadits itu, dia tidak bisa menjaminnya karena belum mengecek kedua hal ini lebih lanjut.

Akan tetapi, bila seorang Hâfizh (penghafal banyak hadits) yang dipegang ucapannya hanya sebatas mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” tanpa menyebutkan ‘illat (penyakit/alasan yang mencederai bobot suatu hadits); maka pendapat yang nampak (secara lahiriah) adalah matannya juga Shahîh sebab asal ucapannya adalah bahwa tidak ada ‘Illat di situ dan juga tidak ada Syudzûdz.

Makna Ucapan at-Turmudzy Dan Ulama
Selainnya, “Hadits Hasan Shahîh”

Secara implisit, bahwa ungkapan seperti ini agak membingungkan sebab hadits Hasan kurang derajatnya dari hadits Shahîh, jadi bagaimana bisa digabung antara keduanya padahal derajatnya berbeda?. Untuk menjawab pertanyaan ini, para ulama memberikan jawaban yang beraneka ragam atas maksud dari ucapan at-Turmudzy tersebut. Jawaban yang paling bagus adalah yang dikemukakan oleh Ibn Hajar dan disetujui oleh as-Suyûthy, ringkasannya adalah:

1. Jika suatu hadits itu memiliki dua sanad (jalur transmisi/mata rantai periwayatan) atau lebih; maka maknanya adalah “Ia adalah Hasan bila ditinjau dari sisi satu sanad dan Shahîh bila ditinjau dari sisi sanad yang lain.”

2. Bila ia hanya memiliki satu sanad saja, maka maknanya adalah “Hasan menurut sekelompok ulama dan Shahîh menurut sekelompok ulama yang lain.”

Seakan Ibn Hajar ingin menyiratkan kepada adanya perbedaan persepsi di kalangan para ulama mengenai hukum terhadap hadits seperti ini atau belum adanya hukum yang dapat dikuatkan dari salah satu dari ke-duanya.

Pengklasifikasian Hadits-Hadits Yang Dilakukan Oleh
Imam al-Baghawy Dalam Kitab “Mashâbîh as-Sunnah”

Di dalam kitabnya, “Mashâbîh as-Sunnah” imam al-Baghawy menyisipkan istilah khusus, yaitu mengisyaratkan kepada hadits-hadits shahih yang terdapat di dalam kitab ash-Shahîhain atau salah satunya dengan ungkapan, “Shahîh” dan kepada hadits-hadits yang terdapat di dalam ke-empat kitab Sunan (Sunan an-Nasâ`iy, Sunan Abi Dâ`ûd, Sunan at-Turmdzy dan Sunan Ibn Mâjah) dengan ungkapan, “Hasan”. Dan ini merupakan isitlah yang tidak selaras dengan istilah umum yang digunakan oleh ulama hadits sebab di dalam kitab-kitab Sunan itu juga terdapat hadits Shahîh, Hasan, Dla’îf dan Munkar.

Oleh karena itulah, Ibn ash-Shalâh dan an-Nawawy mengingatkan akan hal itu. Dari itu, semestinya seorang pembaca kitab ini ( “Mashâbîh as-Sunnah” ) mengetahui benar istilah khusus yang dipakai oleh Imam al-Baghawy di dalam kitabnya tersebut ketika mengomentari hadits-hadits dengan ucapan, “Shahih” atau “Hasan.”

Kitab-Kitab Yang Di Dalamnya
Dapat Ditemukan Hadits Hasan

Para ulama belum ada yang mengarang kitab-kitab secara terpisah (tersendiri) yang memuat hadits Hasan saja sebagaimana yang mereka lakukan terhadap hadits Shahîh di dalam kitab-kitab terpisah (tersendiri), akan tetapi ada beberapa kitab yang di dalamnya banyak ditemukan hadits Hasan. Di antaranya yang paling masyhur adalah:

1. Kitab Jâmi’ at-Turmudzy atau yang lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzy. Buku inilah yang merupakan induk di dalam mengenal hadits Hasan sebab at-Turmudzy-lah orang pertama yang memasyhurkan istilah ini di dalam bukunya dan orang yang paling banyak menyinggungnya.
Namun yang perlu diberikan catatan, bahwa terdapat banyak naskah untuk bukunya tersebut yang memuat ungkapan beliau, “Hasan Shahîh”, sehingga karenanya, seorang penuntut ilmu harus memperhatikan hal ini dengan memilih naskah yang telah ditahqiq (dianalisis) dan telah dikonfirmasikan dengan naskah-naskah asli (manuscript) yang dapat dipercaya.

2. Kitab Sunan Abi Dâ`ûd. Pengarang buku ini, Abu Dâ`ûd menyebutkan hal ini di dalam risalah (surat)-nya kepada penduduk Mekkah bahwa dirinya menyinggung hadits Shahih dan yang sepertinya atau mirip dengannya di dalamnya. Bila terdapat kelemahan yang amat sangat, beliau menjelaskannya sedangkan yang tidak dikomentarinya, maka ia hadits yang layak. Maka berdasarkan hal itu, bila kita mendapatkan satu hadits di dalamnya yang tidak beliau jelaskan kelemahannya dan tidak ada seorang ulama terpecayapun yang menilainya Shahih, maka ia Hasan menurut Abu Dâ`ûd.

3. Kitab Sunan ad-Dâruquthny. Beliau telah banyak sekali menyatakannya secara tertulis di dalam kitabnya ini.

(SUMBER: Kitab Taysîr Musthalah al-Hadîts karya Dr. Mahmûd ath-Thahhân, h. 45-50)

Amalan-Amalan Pamungkas

Mukaddimah

Mencapai kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat merupakan cita-cita setiap muslim tentunya, namun hal itu tidak bisa hanya sebatas cita-cita dan angan-angan. Harus ada aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari sehingga cita-cita itu benar-benar dapat teralisasi.

Salah satu cara untuk merelisasikannya adalah dengan menjalankan amalan-amalan yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, khususnya amalan-amalan pamungkas dan pilar utamanya. Nah, apakah amalan-amalan itu? Mari ikuti kajian berikut ini!

Naskah Hadits



عن مُعَاذِ بنِ جَبَلٍ قَالَ: «كُنْتُ مَعَ النبيّ صلى الله عليه وسلم في سَفَرٍ فَأَصْبَحْتُ يَوْماً قَرِيباً مِنْهُ وَنَحْنُ نَسِيرُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ الله أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُني الْجَنّةَ وَيُبَاعِدُنِي عنِ النّارِ, قَالَ: «لَقَدْ سَأَلْتَنِي عَنْ عَظِيمٍ وَإِنّهُ لَيَسِيرُ عَلَى مَنْ يَسّرَهُ الله عَلَيْهِ: تَعْبُدُ الله وَلاَ تُشْرِكْ بِهِ شَيْئَاً, وَتُقِيمُ الصّلاَةَ, وَتُؤْتِي الزّكَاةَ, وَتَصُومُ رَمَضَانَ, وَتَحُجّ الْبَيْتَ, ثُمّ قَالَ: أَلاَ أَدُلّكَ عَلَى أَبْوَابِ الخَيْرِ: الصّوْمُ جُنّةٌ, وَالصّدَقَةُ تُطْفِىءُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِىءُ المَاءُ النّارَ, وَصَلاَةُ الرّجُلِ مِنْ جَوفِ الّليْلِ, قَالَ: ثُمّ تَلاَ {تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ المَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبّهُمْ} حَتّى بَلَغَ {يَعْمَلُونَ} ثُمّ قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ الأَمْرِ كُلّهِ وَعَمُودِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ: قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ الله قَالَ: رَأْسُ الأَمْرِ الاْسْلاَمُ, وَعُمودُهُ الصّلاَةُ, وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ. ثمّ قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمِلاَكِ ذَلِكَ كُلّهِ, قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ الله, قَالَ: فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ, قَالَ: كُفّ عَلَيْكَ هَذَا. فَقُلْتُ: يَا نَبِيّ الله وَإِنّا لَمُؤَاخَذُونَ بمَا نَتَكَلّمُ بِهِ؟ فَقَالَ: ثَكِلَتْكَ أمّك يَا مُعَاذُ, وَهَلْ يَكُبّ النّاسَ في النّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ, أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ, إِلاَ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ». قال أبو عِيسَى: هَذا حديثٌ حسنٌ صحيحٌ.



Dari Mu’adz bin Jabal RA, ia berkata, “Dalam suatu perjalanan, pernah aku bersama Rasululah SAW. Pada suatu hari saat sedang berjalan-jalan, aku mendekat kepadanya, lalu berkata, Wahai Rasulullah, informasikan kepadaku akan suatu amalan yang dapat menyebabkan aku masuk surga dan jauh dari neraka.” Beliau menjawab, “Engkau telah menanyakan suatu perkara yang amat besar namun sebenarnya ringan bagi orang yang dimudahkan oleh Allah; hendaklah kamu menyembah Allah dan tidak berbuat syirik terhadap-Nya dengan sesuatu apapun, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadlan dan melakukan haji.” Kemudian beliau bersabda lagi, “Maukah kamu aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan; puasa merupakan penjaga (pelindung) dari api neraka, sedekah dapat memadamkan kesalahan (dosa kecil) sebagaimana air dapat memadamkan api, dan shalat seseorang di tengah malam seraya membaca ayat ‘Tatajaafa Junuubuhum ‘Anil Madlaaji’i yad’uuna rabbahum…. [hingga firman-Nya]… Ya’maluun.’ (as-Sajdah:16) Kemudian beliau juga mengatakan, “Dan maukah kamu aku tunjukkan kepala (pangkal) semua perkara, tiang dan puncaknya.?” Aku menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.!” Beliau bersabda, “Kepala (Pangkal) dari semua perkara itu adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad.” Kemudian beliau bersabda lagi, “Maukah kamu aku tunjukkan pilar dari semua hal itu.?” Aku menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.!” Lalu beliau memegang lisan (lidah) nya seraya berkata, “Jagalah ini olehmu.” Lantas aku bertanya, “Wahai Nabiyyullah, apakah kami akan disiksa atas apa yang kami bicarakan.?” Beliau bersabda, “Celakalah engkau wahai Mu’adz! Tidakkah wajah dan leher manusia dijerembabkan ke dalam api neraka kecuali akibat apa yang diucapkan lidah-lidah mereka.?” (HR.at-Turmduzy, dia berkata, “Hadits Hasan Shahih”)

Kosakata

- Hashaa`id Alsinatihim : kejelekan dan kekejian yang dibicarakan oleh lidah-lidah mereka seperti syirik kepada Allah, ghibah, adu domba, dst’
- Tsaqilatka Ummuka (Celakalah Engkau) : secara zhahirnya, kalimat ini tampak seperti doa agar orang yang didoakan mati akan tetapi yang dimaksud sebenarnya bukan makna zhahirnya tersebut tetapi lebih kepada ucapan yang sudah terbiasa oleh lidah bangsa Arab.

Pesan-Pesan Hadits

1. Hadits tersebut menunjukkan betapa perhatian para shahabat, di antaranya Mu’adz bin Jabal terhadap amal-amal shalih dan hal-hal yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah. Mereka selalu memanfa’atkan keberadaan Rasulullah dengan baik untuk bertanya kepadanya, lalu kemudian mengaplikasikan jawaban beliau. Demikianlah seharusnya seorang Muslim, wajib menggunakan kesempatan dengan sebaik-baiknya, mencari hal-hal yang berguna dan menjadi kepentingannya serta dapat membuatnya masuk surga.

2. Hendaknya kemauan seorang Muslim itu begitu tinggi dengan memikirkan hal-hal besar yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah sehingga kemudian target utamanya adalah akhirat yang harus diupayakannya. Dengan begitu, ia akan sangat berhati-hati dan menghindar dari kemauan yang murahan dan sesaat. Makanya, Rasullah mengatakan kepada Mu’adz dalam hadits di atas, “Engkau telah menanyakan suatu perkara yang amat besar.”

3. Tujuan akhir keinginan manusia di dalam kehidupan ini adalah ‘surga’, masuk ke dalamnya dan hal yang dapat menunjukkannya masuk ke sana. Karena itu, hendaklah ia mencari semua sarana yang dapat menyebabkannya masuk surga dan menjauhkannya dari neraka.

4. Dien ini mencakup hal-hal wajib dan sunnah; hal-hal wajib (faraidl) wajib diamalkan Muslim, dijalankan secara konsisten dan tidak diterima dari siapa pun alasan tidak tahu mengenainya, sementara hal-hal sunnah, harus antusias dilakukannya selama mampu melakukannya.

5. Atas karunia Allah Ta’ala, Dia menjadikan pintu-pintu kebaikan demikian banyaknya, sebagiannya dijelaskan dalam hadits ini, yaitu amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, membuat sampai kepada kecintaan dan ridla-Nya. Di dalam hadits Qudsi, Dia berfirman, “Dan tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya dan senantiasalah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku melalui amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya.” (HR.Bukhari, 6137)

6. Puasa merupakan ibadah Sirriyyah (yang bersifat rahasia) antara seorang hamba dan Rabbnya. Bila seorang Muslim memperbanyak puasa sunnah, maka hal itu dapat menjadi penjaga dan pelindung dirinya dari api neraka.

7. Sedekah dapat memadamkan kesalahan (dosa kecil) sebagaimana air dapat memadamkan api. Ini merupakan pintu yang begitu agung sebab sedekah sunnah selalu terbuka sekali pun sedikit. Di dalam hadits yang lain disebutkan, “Bertakwalah kamu walau pun dengan sekeping satu buah kurma.” (HR.Bukhari dan Muslim)

8. Adalah sangat penting bila seorang Muslim bersungguh-sungguh di dalam melakukan shalat wajib namun terlebih lagi dengan melakukan shalat malam di mana keheningan malamnya, jauh dari kebisingan-kebisingan, bermunajat kepada sang Pencipta secara sendirian dan kehina-dinaannya di hadapan-Nya akan memberikannya kenikmatan iman yang spesial seperti halnya kondisi para shahabat ketika Allah berfirman mengenai mereka, “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka.” (as-Sajdah:16) Dalam firman-Nya yang lain ketika memuji mereka, “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah).” (adz-Dzariat:17-18)

9. Rasulullah SAW kembali mengulang-ulang untuk menjelaskan urgensi amalan-amalan khusus di dalam agama ini, yaitu:
a. Bahwa kepala (pangkal) semua urusan ini, di mana jasad tidak akan hidup tanpa kepala, adalah tauhid dan syahadat ‘Tiada tuhan –yang haq disembah- selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah.’ Tanpa tauhid seperti ini, tidak akan benar keislaman seseorang, tidak akan lurus kondisinya dan tidak akan selamat pada hari Kiamat.

b. Tiang, pilar dan pondasinya adalah mendirikan shalat sebab suatu bangunan tidak akan mungkin bisa tegak tanpa adanya tiang. Ia merupakan rukun-rukun ilmiah paling penting, yaitu jalinan antara seorang hamba dan Rabbnya.

c. Yang paling tinggi dan puncaknya di mana karenanya agama ini menjadi tinggi dan tersebar adalah jihad di jalan Allah. Dengan jihad, telaga Islam dan kehormatan kaum Muslimin akan terjaga, wibawa mereka akan menjadi bertambah, ‘izzah (rasa bangga keislaman) akan nampak dan para musuh dapat ditaklukkan.

10. Dalam penutup wasiatnya, Rasulullah SAW mengingatkan suatu perkara yang amat penting sekali namun selalu disepelekan oleh banyak orang, yang merupakan pintu besar bagi amal-amal baik dan buruk. Perkara ini adalah lisan (mulut) yang merupakan senjata tajam yang bila digunakan untuk kebaikan dan keta’aan, maka ia akan menjadi pintu besar menuju surga dan bila digunakan untuk kejahatan dan kemaksiatan, mak ia akan menjadi penggiring ke neraka.

11. Seorang Muslim wajib menggunakan lisannya untuk hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah seperti dzikir, membaca al-Qur’an, memberi nasehat, amar ma’ruf, menunjukkan kepada kebaikan, berdakwah kepada Allah, nahi munkar, menunjukkan jalan bagi orang yang tersesat dan sebagainya. Demikian pula, wajib baginya untuk menghindari penggunaannya pada hal-hal yang dapat menyebabkannya masuk neraka seperti syirik kepada Allah, berdusta, bicara atas nama Allah tanpa ilmu, ghibah, namimah (adu domba) dan persaksian palsu. Lidah yang seperti ini akan menyeret pemiliknya ke dalam neraka, na’uudzu billaahi min dzaalik.

(SUMBER; Silsilah Manaahij Dawraat al-‘Uluum asy-Syar’iyyah- al-Hadiits-Fi`ah an-Naasyi`ah karya Prof Dr Falih bin Muhammad ash-Shaghir, et.ali, h.143-147)

PENJELASAN MENGENAI ISTILAH ILMU HADITS

PENJELASAN MENGENAI ISTILAH ILMU HADITS
(Penjelasan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam muqaddimah Kitabnya Bulughul Maram)

Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan istilah Shahihain adalah kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Setiap hadits yang diketengahkan oleh keduanya secara bersama melalui seorang sahabat disebut Muttafaq Alaih. Mengenai istilah Ushuulus Sittah atau dikenal dengan Sittah adalah Shahihain, Sunan Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam An-Nasa-i, dan Imam Ibnu Majah. Mulai dari Abu Dawud hingga Ibnu Majah dikenal dengan istilah Arba'ah yang masing masing memiliki kitab Sunan. Akan tetapi, ada sebagian ulama yang tidak memasukan Imam Ibnu Majah ke dalam Arba'ah dan menggantinya dengan Al-Muwaththa' atau dengan Musnad Ad-Darimi. Sab'ah terdiri dari Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Sittah terdiri dari Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah. Khamsah terdiri dari Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah. Arba'ah terdiri dari Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah. Tsalaatsah terdiri dari Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasai. Muttafaq 'Alaih terdiri dari Imam Bukhari dan Muslim.

Istilah istilah Hadits

Matan : materi hadits yang berakhir dengan sanad.
Sanad : para perawi yang menyampaikan kepada matan.
Isnad : rentetan sanad hingga sampai ke matan, sebagai contoh ialah "Dari Muhammad Ibnu Ibrahim, dari Alqamah ibnu Waqqash, dari Umar Ibnu Khaththab bahwa Rasullullah saw pernah bersabda: Sesungguhnya semua amal perbuatan itu berdasarkan niat masing masing." Sabda Nabi saw yang mengatakan: "Sesungguhnya semua amal perbuatan itu berdasarkan niat masing-masing" disebut matan, sedangkan diri para perawi disebut sanad, dan yang mengisahkan sanad disebut isnad.
Musnad : hadits yang isnadnya mulai dari permulaan hingga akhir berhubungan, dan kitab yang menghimpun hadits hadits setiap perawi secara tersendiri, seperti kitab Musnad Imam Ahmad.
Musnid : orang yang meriwayatkan hadits berikut isnadnya.
Al Muhaddits : orang yang ahli dalam bidang hadits dan menekuninya secara riwayat dan dirayah (pengetahuan).
Al-Haafizh : orang yang hafal seratus ribu buah hadits baik secara matan maupun isnad.
Al-Hujjah : orang yang hafal tiga ratus ribu hadits.
Al-Haakim : orang yang menguasai sunnah tetapi tidak memfatwakannya melainkan sedikit.

Pembagian Hadits

1. Hadits bila ditinjau dari segi thuruq (jalur periwayatannya) terbagi menjadi muttawatir dan ahad.

a. Hadits Muttawatir : hadits yang memenuhi empat syarat, yaitu :
= diriwayatkan oleh segolongan orang yang banyak jumlahnya.
= menurut kebiasaan mustahil mereka sepakat dalam kedustaan.
= mereka meriwayatkannya melalui orang yang semisal mulai dari permulaan hingga akhir.
= hendaknya musnad terakhir dari para perawi berpredikat hasan (baik).
Hadits muttawatir dapat memberikan faedah ilmu yang bersifat dharuri, atau dengan kata lain ilmu yang tidak dapat ditolak lagi kebenarannya. Contoh hadits muttawatir adalah hadits yang mengatakan : "Barang siapa yang berdusta terhadapku atau atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia bersiap siap menempati tempat duduknya dari api neraka."

b. Hadits Ahad : hadits yang di dalamnya terdapat cacat pada salah satu syarat muttawatirnya. Hadits ahad dapat memberikan faedah yang bersifat zhan dan adakalanya dapat memberikan ilmu yang bersifat nazhari (teori) apabila dibarengi dengan bukti yang menunjukkan kepadanya.

Pembagian hadits ahad ada tiga yaitu :

1. hadits sahih : hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, memiliki hafalan yang sempurna sanad nya muttashil (berhubungan dengan yang lainnya) lagi tidak mu'allal (tercela) dan tidak pula syadz (menyendiri).
Istilah adil yang dimaksud ialah adil riwayatnya, yakni seorang muslim yang telah aqil baliq, bertaqwa dan menjauhi semua dosa dosa besar. Pengertian adil ini mencakup laki-laki, wanita, orang merdeka dan budak belian.
Istilah dhabth ialah hafalan. Ada dua macam dhabth yaitu :
. dhabth shard ialah orang yang bersangkutan hafal semua hadits yang diriwayatkannya di luar kepala dengan baik.
. dhabth kitab yaitu orang yang bersangkutan memelihara pokok hadits yang dia terima dari gurunya dari perubahan perubahan (atau dengan kata lain text-book).
Mu'allal : hadits yang dimasuki oleh suatu 'illat (cela) yang tersembunyi hingga mengharuskannya di mauqufkan (diteliti lebih mendalam).
Syadz : hadits yang orang tsiqah (yang dipercaya) nya berbeda dengan orang yang lebih tsiqah darinya.

2. hadits hasan : hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil. hafalannya kurang sempurna tetapi sanad nya muttashil lagi tidak mu'allal dan tidak pula syadz. Apabila hadits hasan ini kuat karena didukung oleh satu jalur atau dua jalur periwayatan lainnya, maka predikatnya naik menjadi shahih lighairihi.

3. hadits dha'if : hadits yang peringkatnya dibawah hadits hasan dengan pengertian karena didalamnya terdapat cela pada salah satu syarat hasan. Apabila hadits dha'if menjadi kuat karena didukung oleh jalur periwayatan lainnya atau sanad lainnya maka predikatnya naik menjadi hasan lighairihi. Shahih dan hasan keduanya dapat diterima. Dha'if ditolak maka tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, kecuali dalam masalah keutamaan beramal tetapi dengan syarat predikat dha'ifnya tidak terlalu parah dan subyek yang diketengahkan masih termasuk ke dalam pokok syariat, serta tidak berkeyakinan ketika mengamalkannya sebagai hal yang telah ditetapkan melainkan tujuan dari pengamalannya hanyalah untuk bersikap hati-hati dalam beramal.

2. Hadits bila ditinjau dari perawinya terbagi menjadi :
a. hadits masyhur : hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, tetapi masih belum memenuhi syarat muttawatir. Terkadang diucapkan pula terhadap hadits yang telah terkenal hingga menjadi buah bibir, sekalipun hal itu maudhu' (palsu).
b. hadits 'aziz : hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi saja, sekalipun masih dalam satu thabaqah (tingkatan) karena sesungguhnya jumlah perawi yang sedikit pada mayoritasnya dapat dijadikan pegangan dalam bidang ilmu ini.
c. hadits gharib : hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi sekalipun dalam salah satu thabaqah.
Hadits gharib terbagi menjadi dua macam yaitu :
. gharib muthlaq yang artinya hadits yang kedapatan menyendiri dalam pokok sanadnya.
. gharib nisbi yang artinya hadits yang kedapatan menyendiri pada sanad selanjutnya.

3. Hadits terbagi pula menjadi dua bagian lainnya yaitu maqbul dan mardud :
a. hadits maqbul : hadits yang dapat dijadikan hujjah yang didalamnya terpenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan. Hadits maqbul terbagi menjadi empat yaitu :
- shahih lidzatihi yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna hafalannya, muttashil sanadnya, tidak mu'allal dan tidak pula syadz. Shahih lidzatihi ini berbeda beda peringkatnya menurut perbedaan sifat yang telah disebutkan tadi.
- shahih lighairihi yaitu hadits yang mengandung sebagian sifat yang ada pada hadits maqbul, paling sedikit. Akan tetapi dapat ditemukan hal hal yang dapat menyempurnakan kekurangannya itu, seumpamanya ada hadits yang sama diriwayatkan melalui satu atau banyak jalur lainnya.
- hasan lidzatihi yaitu hadits yang dinukil oleh seseorang yang adil, ringan hafalannya (kurang sempurna) muttashil sanadnya, melalui orang yang semisal dengannya, hanya tidak mu'allal dan tidak pula syadz.
- hasan lighairihi yaitu hadits yang masih ditangguhkan penerimaannya tetapi telah ditemukan di dalam nya hal hal yang menguatkan segi penerimaannya. Contohnya ialah hadits yang didalam sanadnya terdapat orang yang keadaannya masih belum diketahui atau orang yang buruk hafalannya.

Hadits Maqbul pun terbagi menjadi :
1. Muhkam yaitu hadits yang tidak ada hadits lain yang menentangnya.
2. Mukhtalaf yaitu haidts yang didapatkan ada hadits lain yang menentangnya tetapi masih dapat digabungkan diantara keduanya.
3. Nasikh yaitu hadits yang datang kemudian isinya menentang hadits yang semisal.
4. Rajih yaitu hadits yang dapat diterima, kandungannya menentang hadits yang semisal yang mendahuluinya karena adanya penyebab yang mengharuskan demikian, sedangkan menggabungkan keduanya tidak mungkin, lawan dari rajah ialah marjuh.

b. hadits mardud : hadits yang didalamnya tidak terpenuhi syarat-syarat shahih dan hasan. Hadits mardud ini tidak dapat dijadikan hujjah dan terbagi pula menjadi dua bagian yaitu:
- mardud yang disebabkan adanya keguguran dalam isnad (sanad)nya, terbagi menjadi lima macam:
a. mu'allaq yaitu hadits yang dari awal sanadnya gugur seorang perawi, dan termasuk ke dalam hadits mu'allaq ialah hadits yang semua sanadnya dibuang.
b. mursal yaitu hadits yang dinisbatkan oleh seorang tabi'in kepada Nabi saw.
c. mu'adhdhal yaitu hadits yang gugur darinya dua orang perawi secara berturut turut.
d. munqathi yaitu haidts yang gugur darinya seorang atau dua orang perawi, tetapi tidak berturut turut.
e. mudallas yaitu hadits yang terdapat keguguran didalamnya tetapi tersembunyi, sedangkan ungkapan periwayatnya memakai istilah 'an (dari). Contohnya dia menggugurkan nama gurunya, lalu menukil dari orang yang lebih atas daripada gurunya dengan memakai ungkapan yang memberikan pengertian kepada si pendengar bahwa hal itu dinukilnya secara langsung, contoh ini dinamakan mudallas isnad.
Adakalanya, nama gurunya tidak digugurkan, tetapi gurunya itu digambarkan dengan sifat yang tidak dikenal, contoh seperti ini dinamakan mudallas syuyukh. Adakalanya, dia menggugurkan seorang perawi dha'if di antara dua orang perawi yang tsiqah, contoh ini dinamakan mudallas taswiyah.

- mardud karena adanya cela terbagi menjadi empat macam :
a. maudhu' yaitu hadits yang perawinya dusta mengenainya.
b. matruk yaitu hadits yang celanya disebabkan perawi dicurigai sebagai orang yang dusta.
c. munkar yaitu hadits yang celanya karena kebodohan siperawinya atau karena kefasikannya.
d. mu'allal yaitu hadits yang celanya karena aib yang tersembunyi, tetapi lahiriahnya selamat, tidak tampak aib.
Termasuk kedalam kategori tercela ialah yang disebabkan idraj (kemasukan). Jenis ini ada dua macam :
. mudraj matan ialah hadits yang didalamnya ditambahkan sebagian dari lafazh perawi, baik pada permulaan, tengah-tengah atau bagian akhirnya. Adakalanya untuk menafsirkan lafazh yang gharib (sulit) seperti yatahannatsu (yata'abbadu) yang artinya beribadah.
. mudraj isnad ialah hadits yang didalamnya ditambahkan isnadnya seperti menghimpun beberapa sanad dalam satu sanad tanpa penjelasan.

Termasuk kedalam pengertian tha'n (cacat) ialah qalb, yaitu hadits yang maqlub (terbalik) disebabkan seorang perawi bertentangan dengan perawi lain yang lebih kuat darinya karena mendahulukan atau mengakhirkan sanad atau matan. Termasuk pula kedalam pengertian tha'n ialah idhthirab yakni hadits yang mudhtharib yaitu hadits yang perawinya bertentangan dengan perawi lain yang lebih kuat dari padanya dalam sanad, matan atau dalam kedua-duanya, padahal tidak ada murajjih (yang menentukan mana yang lebih kuat dari pada keduanya) sedangkan menggabungkan keduanya merupakan hal yang tidak dapat dilakukan.

Termasuk kedalam pengertian tha'n ialah tashhif yaitu hadits mushahhaf dan tahrif (hadits muharraf).
Hadits mushahhaf ialah cela yang ada padanya disebabkan seorang perawi bertentangan dengan perawi lain nya yang lebih kuat dalam hal titik. Jika ada pertentangan itu dalam hal harakat, maka dinamakan hadits muharraf. Termasuk kedalam pengertian tha'n ialah jahalah, juga disebut ibham (misteri), bid'ah, syudzudz, dan ikhtilath.

. hadits mubham ialah hadits yang didalamnya ada seorang perawi atau lebih yang tidak disebutkan namanya.
. hadits mubtadi' ialah jika bid'ahnya mendatangkan kekufuran, maka perawinya tidak dapat diterima, jika bid'ahnya menimbulkan kefasikan, sedangkan perawinya orang yang adil dan tidak menyeru kepada bid'ah tersebut, maka haditsnya dapat diterima.
. hadits syadz ialah hadits yang seorang perawi tsiqahnya bertentangan dengan perawi yang lebih tsiqah darinya. Lawan kata dari hadits syadz ialah hadits mahfuzh, yaitu hadits yang seorang perawi tsiqahnya bertentangan dengan hadits perawi lainnya yang tsiqahnya masih berada di bawah dia.
. hadits mukhtalath ialah hadits yang perawinya terkena penyakit buruk hafalan disebabkan otaknya terganggu, misalnya akibat pengaruh usia yang telah lanjut (pikun). Hukum haditsnya dapat diterima sebelum akalnya terganggu oleh buruk hafalannya, adapun sesudah terganggu tidak dapat diterima. Jika tidak dapat dibedakan antara zaman sebelum terganggu dan zaman sesudahnya, maka senuanya ditolak.

4. Hadits bila dipandang dari segi matan dan sanad terbagi menjadi :
a. hadits marfu' ialah hadits yang disandarkan kepada Rasullullah saw baik secara terang terangan maupun secara hukum.
b. hadits mauquf ialah hadits yang sanadnya terhenti sampai kepada seorang sahabat tanpa adanya tanda tanda yang menunjukan marfu', baik secara ucapan maupun perbuatan.
c. hadits maqthu' ialah hadits yang isnad (sanad) nya terhenti sampai kepada seorang tabi'in.
d. hadits muthlaq ialah hadits yang bilangan perawinya sedikit bila dibandingkan dengan sanad lainnya dan sanad sampai kepada Rasullullah saw. Lawan dari al-muthlaq ialah hadits nazil muthlaq.
e. hadits al nasabi ialah hadits yang perawinya sedikit bila dibandingkan dengan sanad lainnya dan berakhir sampai kepada seorang Imam terkenal seperti Imam Malik, Imam Syafi'ie, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
f. hadits nazil nasabi ialah lawan haidts al nasabi. Hadits al nasabi lebih ke shahih karena kekeliruannya sedikit. hadits nazil nasabi ini tidak disukai kecuali karena keistimewaan khusus yang ada padanya.

Berbagai Jenis Riwayat

Ada berbagai jenis riwayat yaitu riwayat Aqran, Akabir 'an Ashaghir, Ashaghir 'an Akabir, Musalsal, Muttafiq dan Muftariq, Mu'talif dan Mukhtalif, Mutasyabih, Muhmal, serta Sabiq dan Lahiq.

Riwayat Aqran : riwayat yang dilakukan oleh salah seorang perawi diantara dua orang perawi yang berteman dari perawi lainnya. Dua orang teman ialah teman yang berdekatan umur atau isnadnya, atau kedua duanya. Berdekatan dalam hal isnad artinya berdekatan dalam berteman dan mengambil dari guru.
Riwayat Aqran ini terdiri dari:
1. Mudabbaj yaitu riwayat dari masing masing dua perawi yang berteman lagi sama umur dan isnadnya dari perawi lainnya.
2. Ghairu Mudabbaj yaitu riwayat dari salah seorang dua perawi yang berteman, sedangkan keduanya sama dalam hal umur dan isnadnya.

Riwayat Akabir 'an Ashaghir : seseorang meriwayatkan suatu hadits dari orang yang lebih rendah darinya dalam hal umur atau dalam bersua (berteman). Termasuk kedalam pengertian ini ialah riwayat para orang tua dari anak anak Nya dan riwayat para sahabat dari para tabi'in, jenis ini jarang didapat. Kebalikannya memang banyak, yaitu riwayat Ashaghir 'an Akabir atau riwayat yang dilakukan oleh anak dari orang tuanya atau tabi'in dari sahabat, jenis ini banyak didapat.

Hadits Musalsal : hadits yang para perawinya sepakat terhadap kondisi qauli atau fi'li, seperti lafazh haddatsani dan anba'ani dan seterusnya.
Hadits Muttafaq dan Muftaraq : hadits yang semua nama perawinya telah disepakati secara lafazh dan tulisan, tetapi madlul atau pengertiannya berbeda beda.
Hadits Mu'talaf dan Mukhtalaf : hadits yang sebagian nama perawinya disepakati secara tulisan, tetapi secara ucapan berbeda, seperti lafazh Zabir dan Zubair.
Hadits Mutasyabih : hadits yang nama sebagian perawinya disepakati, tetapi nama orang tua mereka masih diperselisihkan, seperti Sa'ad ibnu Mu'adz dan Sa'ad ibnu Ubadah.

Hadits Muhmal : hadits yang diriwayatkan dari dua orang perawi yang bersesuaian dalam nama hingga tidak dapat dibedakan. Apabila keduanya merupakan dua orang tsiqah (terpercaya), maka tidak ada bahayanya, seperti nama Sufyan, tetapi apakah Sufyan Ats-Tsauri ataukah Sufyan ibnu Uyainah. Jika keduanya bukan orang orang tsiqah maka berbahaya.

Hadits Sabiq dan Lahiq : suatu hadits yang didalamnya tergabung suatu riwayat yang dilakukan oleh dua orang perawi dari gurunya masing masing, tetapi salah seorang diantara keduanya telah wafat lebih dahulu jauh sebelum yang lainnya, sedangkan jarak antara matinya orang pertama dengan orang kedua cukup lama.

Ungkapan penyampaian hadits yang terkuat ialah memakai kalimat sami'tu (aku telah mendengar) dan haddatsani (telah menceritakan sebuah hadits kepadaku). Setelah itu memakai lafazh qara'tu 'alaihi (aku belajar darinya), kemudian memakai lafazh quri-a 'alaihi (diajarkan kepadanya), sedangkan aku mendengarkannya, kemudian memakai lafazh anba-ani (dia telah memberatkan kepadaku), kemudian memakai lafazh nawalani ijazatan (dia telah memberikan hadits ini kepadaku secara ijazah), kemudian memakai lafazh kutiba ilayya (dikirimkan kepadaku melalui tulisan atau surat), kemudian memakai lafazh wajadtu bikhaththihi (aku menemukan pada tulisannya), Adapun hadits mu'an'an seperti 'an fulaanin (dari si fulan), maka hadits ini dikategorikan kedalam hadits yang diterima melalui mendengarkannya dari orang yang sezaman, tetapi tidak mudallas.

Penutup

Adil riwayat : seorang muslim yang akil baliq, menjauhi dosa dosa besar dan memelihara diri dari dosa dosa kecil pada sebagian besar waktunya, tetapi tidak disyaratkan laki laki dan merdeka. Oleh karena itu, riwayat yang dilakukan oleh wanita dan budak belian dapat diterima. Riwayat yang dilakukan oleh ahli bid'ah jika dia orang yang adil lagi tidak menyerukan orang lain kepada bid'ahnya dan bid'ahnya tidak sampai kepada tingkatan kekufuran (bid'ah munkarah) diterima pula.

Empat peringkat urutan adil:
1. Si Fulan orang yang sangat terpercaya, dapat dijadikan sebagai rujukan, sangat handal untuk dijadikan hujjah, dapat dijadikan rujukan dan hujjah, hafalannya dapat dijadikan hujjah.
2. Si Fulan orang yang terpercaya, atau dapat dijadikan hujjah, atau orang yang hafizh, atau orang yang dapat menjadi rujukan, atau orang yang dhabith, atau orang yang mutqin (mendalami). Kebaikan kedua peringkat di atas ialah bahwa hadits mereka dapat ditulis untuk dijadikan hujjah, pelajaran dan saksi (bukti) karena lafazhnya menunjukan pengertian yang mengandung makna adil dan dhabith.
3. Si Fulan orang yang jujur, atau orang yang terpilih, atau orang yang dapat dipercaya, atau boleh diambil haditsnya, atau tidak ada celanya. Orang yang menduduki peringkat ini haditsnya boleh ditulis, tetapi masih harus di pertimbangkan karena lafazhnya tidak memberikan pengertian dhabith. Sekalipun demikian, hadits mereka dapat dianggap setelah mendapat persetujuan dari orng orang yang dhabith.
4. Si Fulan menjadi sumber mereka dalam mengambil riwayat, atau haditsnya pantas dinilai jujur, atau si Fulan mendekati kejujuran, guru yang bersifat adil, haditsnya saleh, atau jayyid, atau baik, atau cukup baik, aku berharap semoga dia tidak ada celanya, dia orang jujur Insya Alloh. Orang orang yang menduduki peringkat ini haditsnya boleh ditulis, tetapi hanya sebagai penjelasan.

Lima peringkat urutan tajrih (cela):
1. Si Fulan berdusta, hal ini merupakan tajrih (celaan) yang paling buruk, misalnya dengan kata kata dia pendusta, tukang membuat buat hadits, tukang membual lagi pendusta.
2. Si Fulan orang yang rendah, atau orang yang binasa, orang yang ngaco, omongannya perlu dipertimbangkan, tertuduh sebagai orang dusta, atau membuat buat hadits. Dia orang yang ditinggalkan haditsnya, tidak dianggap tidak dianggap haditsnya, tidak dipercaya, tidak dapat dipegang, atau mereka tidak memberikan komentar mengenainya.
3. Si Fulan ditolak haditsnya, dia tertolak, mereka menolak haditsnya, lemah haditsnya, lemparkan haditsnya, hadits nya dilemparkan, mereka melemparkan haditsnya, lemah sekali, tidak ada apa apanya, tidak dianggap sesuatu, atau tidak ada harganya sama sekali. Hadits orang yang menduduki ketiga peringkat ini tidak dianggap, baik untuk hujjah maupun untuk pelajaran.
4. Si Fulan munkar haditsnya, lemah haditsnya, kacau haditsnya, atau lemah sekali dan mereka menganggapnya dha'if serta tidak dapat dijadikan hujjah.
5. Si Fulan masih ada lemahnya, atau masih ada celanya atau lemahnya, buruk hafalannya, lemah haditsnya, dekat kepada lemah, mereka membicarakan tentangnya, bukan orang yang dapat menguasai, bukan orang yang kuat, bukan orang yang dapat dijadikan hujjah, bukan orang yang dapat dipegang, atau bukan orang yang memuaskan karena mereka telah mencelanya dan mereka berselisih pendapat mengenai dirinya. Si Fulan dikenal tetapi di ingkari.

Hadits orang yang menduduki peringkat keempat dan kelima ini dapat diketengahkan sebagai pelajaran dan saksi (bukti).

(Maraji': Terjemahan Bulughul Maram oleh Bachrun Abu Bakar, terbitan Trigenda Karya)